Kamis, 12 April 2018

Di Wonosobo

Yang Saya Ambil dari Perjalanan ke Wonosobo

Selepas sidang skripsi, saya mendapat tawaran yang sangat menarik dan tidak mungkin saya tolak, yaitu sebuah trip jalin komunitas yg diadakan oleh Forum Musik Tembi untuk mengunjungi salah satu seniman bundhengan Mas Hengky Krisnawan di Wonosobo. Tujuan dari trip ini sederhana yaitu untuk mengetahui lebih jauh mengenai alat musik bundhengan atau kowangan langsung dari ahlinya. 

Kami bertemu Mas Hengky di rumah beliau. Terlihat dari bentuk rumahnya dan isinya saya semakin mantap menganggap bahwa Mas Hengky ini "wong kondang". Dan ternyata memang benar Mas Hengky adalah salah satu orang yang cukup berpengaruh di bidang budaya di wilayah Wonosobo dan Banjarnegara. Beliaulah yang "mengaku" satu-satunya pemain bundhengan yang masih eksis. Dulu saat saya bertemu beliau di Jogja, saya meyakini pernyataan tersebut. Setelah bertemu langsung di rumahnya sekira 2 tahun kemudian, barulah verifikasi saya dapat. Ternyata pernyataan tersebut hanya "trigger" belaka. Mas Hengky kemudian menjelaskan bagimana bundhengan ditemukan. Beliau menyatakan bahwa alat musik ini sudah ada sejak era Majapahit, tertulis dalam sebuh kitab kuno Wartasancaya (CMIIW). Saya tidak akan bercerita mengenai hal tersebut karena itu bukan bidang saya. Yang saya kagumi dari beliau adalah "trigger" nya yang membuat seniman bundhengan lain keluar dari sarangnya. Bahkan saat ini bundhengan sudah menjadi muatan lokal di beberapa sekolah di Wonosobo, yang kemudian kami mengetahui bahwa orang dibaliknya adalah Bu Mul. Saya melihat suatu "kekuatan kolektif yang tidak terlihat", bagaimana para seniman ini yang jarang bertatap muka, dapat membangun kesadaran kolektif para birokrat pendidikan sehingga kesenian bundhengan mendapat perhatian lebih.

Setelah bertemu Mas Hengky, kami kembali ke penginapan. Esok harinya setelah mendapat informasi dari warga lokal kami berangkat menuju rumah Pak Munir. Pak Munir adalah adik kandung dari Bapak Barnawi (alm), salah satu seniman yang merintis kesenian bundhengan di Wonosobo. Dari Bapak Barnawi pula, Mas Hengky mendapat "warisan" bundhengan. Bersama Bu Mul, Pak Munir tampil dari panggung ke panggung di wilayah Wonosobo dan sekitarnya. Pak Munir memiliki hubungan baik dengan Bu Mul sampai pada saat mereka ditawari untuk tampil di Australia. Bu Mul pergi dengan dua orang muridnya, tidak bersama Pak Munir. Dari penuturan beliau, saya merasa bahwa Pak Munir "didzolimi". Kemudian saat kami tanya, pernahkah beliau bertemu atau mengenal Mas Hengky, beliau mengatakan baru satu kali bertemu dan kurang mengenal Mas Hengky. Padahal dua orang tersebut memiliki hubungan dengan Bapak Barnawi. Saya lebih merasa empati daripada kagum kepada beliau, tidak seperti saat saya bertemu Mas Hengky. Pak Munir ini hanyalah orang biasa. Beliau sehari-hari bekerja serabutan, hanya kebetulan beliau bisa bermain bundhengan (tidak seperti Mas Hengky yang seorang budayawan dan pegawai dinas kebudayaan). Pak Munir belajar bundhengan secara otodidak. Tapi dari segi permainan, Pak Munir lebih otentik, lebih asli. Saya kemudian menganggap bahwa Pak Munir ini tulus dalam berkesenian bundhengan. Yang dikejar beliau bukan materi, bukan uang, karena beliau mencari uang dengan bekerja serabutan bukan dengan bermain bundhengan. Bundhengan bagi beliau adalah pelipur lara, atau hiburan. Beliau juga tidak "ambil pusing" tentang sejarah bundhengan, bagaimana bundhengan terbentuk. Bahkan Pak Munir ini tidak hapal mana pelog mana slendro. Beliau hanya mengandalkan perasaan. Saya menyebutnya "ilmu kinten-kinten".

Dalam perjalanan ini, saya mendapat cukup banyak pengalaman yang berkesan dan pengetahuan baru dari para seniman bundhengan dan dari teman satu tim (Mas Indra, Surya, Mas Gigih, dan Mas Riboet) dalam beberapa bidang. Saya sangat bersukur, saya yang bisa dibilang amatir dan bukan apa-apa dalam hal pengkajian budaya dapat menyerap beberapa hal dari perjalanan tersebut, antara lain:
- keterbatasan finansial, pengetahuan, dan bias informasi terbukti dapat menentukan bagaimana seseorang memaknai, mempelajari, menemukan, dan mengkreasikan suatu karya.
- akar dari teori adalah rasa.
- terdapat politik berkesenian yang menurut saya "kejam" yang ternyata diamini oleh para akademisi dalam bidang seni.