Terima kasih Leila, kau
tenggelamkan aku dalam kata-kata, kalimat, dan klausamu. Air mata itu tak bisa
ditahan jika memang mereka memaksa menyeruak menembus batas bening bola mata.
Ini kali pertama bagiku untuk
menulis sebuah resensi, review, komentar atau entah apa namanya pada sebuah
buku. Meskipun sudah kubaca berbagai buku fiksi, tapi entah, Leila, hanya kau
yang membuatku tenggelam, benar-benar tenggelam. PULANG, novel yang tidak
tipis, yang aku cita-citakan untuk kubaca sejak pertama membaca ‘Malam Terakhir’
yang kucuri dari perpustakaan, akhirnya dapat kumiliki dan kuselami. Aku
pesimis pada kegiatan membaca novel (karena tidak pernah selesai), tapi penulis
PULANG adalah Leila S. Chudori, yang membuaku tidak bisa lepas dari huruf-huruf
yang tersusun dalam 450 halaman selesai dalam 6 hari (terdengar hiperbolik,
maaf, tapi bagiku yang seorang amatir dalam hal membaca novel, ini adalah
prestasi). Mereka benar, kau tidak hanya sekedar bercerita, akan tetapi kau
berikan sebuah arena atau ruang bagi pembaca untuk turut serta dalam
serangkaikan peristiwa, Indonesia 1965 (yang saat ini benar-benar menjadi
sebuah isu diantara puluhan pengalih isu di media, yang membuatku menghadapi 2
mata pisau atas keputusanku menjadi seorang calon guru), Prancis 1968 (yang
baru kuketahui), dan titik tolak reformasi Indonesia, Mei 1998 (yang menjadi
bagian dari cerita sehari-hariku dengan orang tuaku). Kau benar-benar membuat
perasaan pembaca (yang merasakan) naik turun. Seperti setelah membaca surat dari
Surti yang menusuk dengan menyakitkan, kau beri surat Bang Amir yang seperti
memberi sebuah cahaya. Dimas Suryo yang kau nobatkan sebagai seekor camar yang
tak tahu kapan hinggap, seperti menjadi cerminan diriku, yang sampai saat ini
tak memiliki prinsip yang pasti (atau mungkin ini memang sebuah prinsip untuk
tidak memiliki prinsip?), terombang-ambing, mengikuti arus nasib. Berkat kau
mataku lebih terbuka dan otakku semakin tidak tahu kapan berhenti berpikir.
Meski ada sesal, “mengapa aku harus mengetahui?”
Seperti yang kutulis sebelumnya,
ini kali pertama aku menulis sebuah entah apa namanya setelah membaca sebuah
buku. Aku tak bisa berpanjang lebar, aku tak pandai berkomentar dalam bentuk
tulisan, akan tetapi hatiku memaksa untuk menulis, entah bagaimana hasilnya.
Bukan untuk pamer, bukan untuk menunjukkan apa-apa, sulit dijelaskan alasannya.
Untuk sementara (semoga tidak), kau adalah penulis yang benar-benar merenggutku
dalam dunia fiksi. Karenamu, aku jatuh cinta pada sastra. Semoga tulisan ini
memiliki makna, dan kuakhiri tulisan ini dengan mengutip bagian kecil dari
PULANG:
“Mengapa benda mati disebut sesuatu yang mati? Terkadang mereka lebih ‘hidup’
dan lebih jujur memberikan saksi”